Jawa Tengah adalah
sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau
Jawa. Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah
barat, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa
Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Timur di sebelah
timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Luas wilayah nya 32.548 km²,
atau sekitar 25,04% dari luas pulau Jawa. Provinsi Jawa Tengah juga
meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan (dekat dengan
perbatasan Jawa Barat), serta Kepulauan Karimun
Jawa di Laut Jawa.
Pengertian Jawa
Tengah secara geografis dan budaya kadang juga mencakup
wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Jawa Tengah dikenal sebagai
"jantung" budaya Jawa.
Suku
Mayoritas penduduk
Jawa Tengah adalah Suku Jawa. Jawa Tengah dikenal sebagai pusat
budaya Jawa, di mana di
kota Surakarta dan Yogyakarta terdapat pusat istana
kerajaan Jawa yang masih berdiri hingga kini.
Bahasa
Meskipun Bahasa
Indonesia adalah bahasa resmi, umumnya sebagian besar
menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Jawa
Dialek Solo-Jogja dianggap sebagai Bahasa Jawa Standar. Di samping
itu terdapat sejumlah dialek Bahasa Jawa, namun secara umum terdiri dari dua,
yakni kulonan dan timuran. Kulonan dituturkan
di bagian barat Jawa Tengah, terdiri atas Dialek Banyumasan dan Dialek Tegal, dialek
ini memiliki pengucapan yang cukup berbeda dengan Bahasa Jawa Standar.
Sedang Timuran dituturkan di bagian timur Jawa Tengah, di antaranya
terdiri atas Dialek Solo, Dialek Semarang.
Agama
Sebagian besar
penduduk Jawa Tengah beragama Islam dan mayoritas tetap
mempertahankan tradisi Kejawen yang dikenal dengan
istilah abangan. Agama lain yang dianut adalah Protestan,
Katolik, Hindu , Budha, Kong Hu Cu, dan puluhan aliran kepercayaan.
Penduduk Jawa Tengah dikenal dengan sikap tolerannya.
KESENIAN JAWA TENGAH
1. GAMELAN JAWA
Gamelan
Jawa merupakan Budaya Hindu yang digubah oleh Sunan Bonang, guna mendorong
kecintaan pada kehidupan Transedental (Alam Malakut) ”Tombo Ati” adalah salah
satu karya Sunan Bonang. Sampai saat ini tembang tersebut masih dinyanyikan
dengan nilai ajaran Islam, juga pada pentas-pentas seperti: Pewayangan, hajat pernikahan
dan acara ritual budaya Keraton.
2. WAYANG KULIT
Kesenian
wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di
Indonesia dan mulai berkembang pada zaman Hindu Jawa. Pertunjukan kesenian
wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa
dari kepercayaan animisme dan dinamisme. Menurut Kitab Centini, tentang
asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali
diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang / Kediri. Sekitar abad
ke-10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan
digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari
gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Cerita
Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa
Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau
titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah
Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
3. KERIS JAWA
Keris
dikalangan masyarakat di jawa dilambangkan sebagai simbol “ Kejantanan “ dan
terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam
upacara temu pengantin, maka ia diwakili sebilah keris. Keris merupakan lambang
pusaka. Di kalender masyarakat jawa mengirabkan pusaka unggulan keraton
merupakan kepercayaan terbesar pada hari satu sura. Keris pusaka atau
tombak pusaka merupakan unggulan itu keampuhannya bukan saja karena dibuat dari
unsur besi baja, besi, nikel, bahkan dicampur dengan unsur batu meteorid yang
jatuh dari angkasa sehingga kokoh kuat, tetapi cara pembuatannya disertai
dengan iringan doa kepada sang maha pencipta alam dengan duatu apaya spiritual
oleh sang empu. Sehingga kekuatan spiritual sang maha pencipta alam itu pun dipercayai
orang sebagai kekuatan magis atau mengandung tuah sehingga dapat mempengaruhi
pihak lawan menjadi ketakutan kepada pemakai senjata pusaka itu.
4.
BATIK
Kesenian batik adalah kesenian
gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga
kerajaan di masa lampau, khususnya di Kerajaan Mataram, Kerajaan Keraton
Solo dan Yogyakarta.
Awalnya batik dikerajaan terbatas dalam keraton saja
dan hasilnya untuk pakaian raja, keluarganya, serta para pengikutnya. Oleh
karena banyaknya pengikut raja yang tinggal di luar keraton, maka kesenian
batik ini dibawa oleh mereka keluar keraton untuk dikerjakan di tempat
masing-masing. Seiring berjalannya waktu, kesenian batik ini ditiru oleh rakyat
setempat dan kemudian menjadi pekerjaan kaum wanita di dalam rumahnya untuk
mengisi waktu senggang. Selain itu, batik yang awalnya hanya untuk keluarga
keraton, akhirnya menjadi pakaian rakyat yang digemari pria dan wanita.
Dahulu, bahan kain putih yang dipergunakan untuk
membatik adalah hasil tenunan sendiri. Sementara bahan pewarnanya diambil dari
tumbuh-tumbuhan asli Indonesia. Beberapa bahan pewarna tersebut antara lain
pohon mengkudu, soga, dan nila. Bahan sodanya dibuat dari soda abu dan garamnya
dari tanah lumpur. Pusat kerajinan batik tersebar di daerah Pekalongan, Kota
Surakarta, dan Kab. Sragen.
5.
UKIRAN ASLI JEPARA
Para pengukir jepara pandai menyesuaikan diri dengan
gaya ukiran baru. Mereka tidak hanya membuat gaya ukiran khas Jepara saja tapi
ukiran lainnya yang tak kalah menarik. Meskipun ukiran Jepara beragam,
sebaiknya kita tidak melupakan gaya ukiran khas Jepara. Biasanya disebut
ornamen Jepara. Meskipun tak ada sebutan khusus, tapi ia dapat dikenali dari
ciri khasnya. Ukiran Jepara mengambil bentuk dedaunan. Ada yang mengatakan itu
adalah daun tanaman wuni. Wuni adalah jenis rerumputan liat yang banyak tumbuh
di Jepara. Tanaman itu memiliki
buah kecil-kecil yang digemari burung. Bentuk tanaman wuni itu diolah seniman
ukir menjadi bentuk desain ukiran yang indah. Ciri khas ukiran itu, daunnya
digambarkan melengkung-lengkung luwes. Seolah ada iramanya. Ujung daunnya
runcing. Buah-buah kecil diukir menggerombol. Kadang, ditambahkan ukiranburung
yang hendak mematuk buah itu. Ukiran gaya Jepara ini dulu banyak diukirkan pada
peti-peti kayu. Meja kursi juga ada. Tapi, sekarang jarang diukirkan pada
meubel lagi.
SENI TARI JAWA TENGAH
1.
Tari Tradisional
Selain tari-tari klasik, di Jawa Tengah terdapat pula
tari-tari tradisional yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah tertentu.
Kesenian tradisional tersebut tak kalah menariknya karena mempunyai
keunikan-keunikan tersendiri. Beberapa contoh kesenian tradisional:
a.
Tari Dolalak dari Purworejo
Pertunjukan ini dilakukan oleh beberapa orang penari
yang berpakaian menyerupai pakaian prajurit Belanda atau Perancis tempo dulu
dan diiringi dengan alat-alat bunyi-bunyian terdiri dari kentrung, rebana,
kendang, kencer, dllnya. Menurut cerita, kesenian ini timbul pada masa
berkobarnya perang Aceh di jaman Belanda yang kemudian meluas ke daerah lain.
b. Patolan (Prisenan), dari Rembang
b. Patolan (Prisenan), dari Rembang
Sejenis olahraga gulat rakyat yang dimainkan oleh dua
orang pegulat dipimpin oleh dua orang Gelandang (wasit) dari masing-masing
pihak. Pertunjukan ini diadakan sebagai olah raga dan sekaligus hiburan di
waktu senggang pada sore dan malam hari terutama di kala terang bulan purnama.
Lokasinya berada di tempat-tempat yang berpasir di tepi pantai. Seni gulat
rakyat ini berkembang di kalangan pelajar terutama di pantai antara kecamatan
Pandagan, Kragan, Bulu sampai ke Tuban, Jawa Timur.
c. Blora.
c. Blora.
Daerah ini terkenal dengan atraksi kesenian Kuda
Kepang, Barongan dan Wayang Krucil(sejenis wayang kulit terbuat dari kayu).
d. Pekalongan
d. Pekalongan
Di daerah Pekalongan terdapat kesenian Kuntulan dan
Sintren. Kuntulan adalah kesenian bela diri yang dilukiskan dalam tarian dengan
iringan bunyi-bunyian seperti bedug, terbang, dllnya. Sedangkan Sintren adalah
sebuah tari khas yang magis animistis yang terdapat selain di Pekalongan juga
di Batang dan Tegal. Kesenian ini menampilkan seorang gadis yang menari dalam
keadaan tidak sadarkan diri, sebelum tarian dimulai gadis menari tersebut
dengan tangan terikat dimasukkan ke dalam tempat tertutup bersama peralatan
bersolek, kemudian selang beberapa lama ia telah selesai berdandan dan siap
untuk menari. Atraksi ini dapat disaksikan pada waktu malam bulan purnama
setelah panen.
e. Obeg dan Begalan.
Kesenian ini berkembang di Cilacap. Pemain Obeg ini
terdiri dari beberapa orang wanita atau pria dengan menunggang kuda yang
terbuat dari anyaman bambu (kepang), serta diiringi dengan bunyi-bunyian
tertentu. Pertunjukan ini dipimpin oleh seorang pawang (dukun) yang dapat
membuat pemain dalam keadaan tidak sadar.
Begalan adalah salah satu acara dalam rangkaian upacara perkawinan adat Banyumas. Kesenian ini hidup di daerah Bangumas pada umumnya juga terdapat di Cilacap, Purbalingga maupun di daerah di luar Kabupaten Banyumas, yang bersifat khas Banyumas antara lain Calung, Begalan dan Dalang Jemblung.
Begalan adalah salah satu acara dalam rangkaian upacara perkawinan adat Banyumas. Kesenian ini hidup di daerah Bangumas pada umumnya juga terdapat di Cilacap, Purbalingga maupun di daerah di luar Kabupaten Banyumas, yang bersifat khas Banyumas antara lain Calung, Begalan dan Dalang Jemblung.
f. Calung
dari Banyumas
Calung adalah suatu bentuk kesenian rakyat dengan
menggunakan bunyi- bunyian semacam gambang yang terbuat dari bambu, lagu-lagu
yang dibawakan merupakan gending Jawa khas Banyumas. Juga dapat untuk
mengiringi tarian yang diperagakan oleh beberapa penari wanita. Sedangkan untuk
Begalan biasanya diselenggarakan oleh keluarga yang baru pertama kalinya
mengawinkan anaknya, yang mengadakan upacara ini adalah dari pihak orang tua
mempelai wanita.
g. Kuda Lumping (Jaran Kepang) dari Temanggung
g. Kuda Lumping (Jaran Kepang) dari Temanggung
Kesenian ini diperagakan secara massal, sering
dipentaskan untuk menyambut tamu -tamu resmi atau biasanya diadakan pada waktu
upacara.
h. Lengger dari Wonosobo
Kesenian khas Wonosobo ini dimainkan oleh dua orang
laki-laki yang masing-masing berperan sebagai seorang pria dan seorang wanita.
Diiringi dengan bunyi-bunyian yang antara lain berupa Angklung bernada Jawa.
Tarian ini mengisahkan ceritera Dewi Chandrakirana yang sedang mencari suaminya
yang pergi tanpa pamit. Dalam pencariannya itu ia diganggu oleh raksasa yang
digambarkan memakai topeng.
i. Jatilan dari Magelang
i. Jatilan dari Magelang
Pertunjukan ini biasanya dimainkan oleh delapan orang
yang dipimpin oleh seorang pawang yang diiringi dengan bunyi-bunyian berupa bende,
kenong dll. Dan pada puncaknya pemain dapat mencapai tak sadar.
j. Tarian Jlantur dari Boyolali
j. Tarian Jlantur dari Boyolali
Sebuah tarian yang dimainkan oleh 40 orang pria dengan
memakai ikat kepala gaya turki. Tariannya dilakukan dengan menaiki kuda kepang
dengan senjata tombak dan pedang. Tarian ini menggambarkan prajurit yang akan
berangkat ke medan perang, dahulu merupakan tarian penyalur semangat
kepahlawanan dari keturunan prajurit Diponegoro.
k. Ketek Ogleng dari Wonogiri
k. Ketek Ogleng dari Wonogiri
Kesenian yang diangkat dari ceritera Panji, mengisahkan
cinta kasih klasik pada jaman kerajaan Kediri. Ceritera ini kemudian diubah
menurut selera rakyat setempat menjadi kesenian pertunjukan Ketek Ogleng yang
mengisahkan percintaan antara Endang Roro Tompe dengan Ketek Ogleng.
Penampilannya dititik beratkan pada suguhan tarian akrobatis gaya kera (Ketek
Ogleng) yang dimainkan oleh seorang dengan berpakaian kera seperti wayang
orang.
2. Tari
Klasik
a) Tari Bedhaya
a) Tari Bedhaya
Budaya Islam ikut mempengaruhi bentuk-bentuk tari pada
zaman Majapahit. Seperti tari Bedhaya 7 penari berubah menjadi 9 penari
disesuaikan dengan jumlah Wali Sanga. Ide Sunan Kalijaga tentang Bedhaya dengan
9 penari ini akhirnya sampai pada Mataram Islam, tepatnya sejak perjanjian
Giyanti pada tahun 1755 oleh Pangeran Purbaya, Tumenggung Alap-alap dan Ki
Panjang Mas, maka disusunlah Bedhaya dengan penari berjumlah 9 orang. Hal ini
kemudian dibawa ke Kraton Kasunanan Surakarta.
- Tari Srimpi:
- Tari Srimpi:
Tari Srimpi yang ada sejak Prabu Amiluhur ketika masuk
ke Kraton mendapat perhatian pula. Tarian yang ditarikan 4 putri itu
masing-masing mendapat sebutan : air, api, angin dan bumi/tanah, yang selain
melambangkan terjadinya manusia juga melambangkan empat penjuru mata angin.
Sedang nama peranannya Batak, Gulu, Dhada dan Buncit. Komposisinya segi empat
yang melambangkan tiang Pendopo. Seperti Bedhaya, tari Srimpipun ada yang suci
atau sakral yaitu Srimpi Anglir Mendhung.
Beberapa
contoh tari klasik yang tumbuh dari Bedhaya dan Srimpi:
a. Beksan Gambyong
a. Beksan Gambyong
Berasal dari
tari Glondrong yang ditarikan oleh Nyi Mas Ajeng Gambyong. Menarinya sangat
indah ditambah kecantikan dan modal suaranya yang baik, akhirnya Nyi Mas itu
dipanggil oleh Bangsawan Kasunanan Surakarta untuk menari di Istana sambil
memberi pelajaran kepada para putra/I Raja. Oleh Istana tari itu diubah menjadi
tari Gambyong.
b. Beksan Wireng
b. Beksan Wireng
Berasal dari kata
Wira (perwira) dan 'Aeng' yaitu prajurit yang unggul, yang 'aeng', yang
'linuwih'. Tari ini diciptakan pada jaman pemerintahan Prabu Amiluhur dengan
tujuan agar para putra beliau tangkas dalam olah keprajuritan dengan
menggunakan alat senjata perang. Sehingga tari ini menggambarkan ketangkasan
dalam latihan perang dengan menggunakan alat perang.
c. Tari Pethilan
Hampir sama dengan
Tari Wireng. Bedanya Tari Pethilan mengambil adegan/ bagian dari ceritera
pewayangan.
d. Tari Golek
d. Tari Golek
Tari ini berasal dari
Yogyakarta. Pertama dipentaskan di Surakarta pada upacara perkawinan KGPH.
Kusumoyudho dengan Gusti Ratu Angger tahun 1910. Selanjutnya mengalami
persesuaian dengan gaya Surakarta. Tari ini menggambarkan cara-cara berhias
diri seorang gadis yang baru menginjak masa akhil baliq, agar lebih cantik dan
menarik.
e. Tari Bondan : Tari ini dibagi menjadi:
- Bondan Cindogo
- Bondan Mardisiwi
- Bondan Pegunungan/Tani.
Tari Bondan Cindogo dan Mardisiwi merupakan tari
gembira, mengungkapkan rasa kasih sayang kepada putranya yang baru lahir. Tapi
Bondan Cindogo satu-satunya anak yang ditimang-timang akhirnya meninggal dunia.
Sedang pada Bondan Mardisiwi tidak, serta perlengakapan tarinya sering tanpa
menggunakan kendhi seperti pada Bondan Cindogo.
f. Tari Topeng
Tari ini sebenarnya berasal dari Wayang Wong atau
drama. Tari Topeng yang pernah mengalami kejayaan pada jaman Majapahit,
topengnya dibuat dari kayu dipoles dan disungging sesuai dengan perwatakan
tokoh/perannya yang diambil dari Wayang Gedhog, Menak Panji. Tari ini semakin
pesat pertumbuhannya sejak Islam masuk terutama oleh Sunan Kalijaga yang
menggunakannya sebagai penyebaran agama. Beliau menciptakan 9 jenis topeng,
yaitu topeng Panji Ksatrian, Condrokirono, Gunung sari, Handoko, Raton, Klono,
Denowo, Benco(Tembem), Turas (Penthul). Pakaiannya dahulu memakai ikat kepala
dengan topeng yang diikat pada kepala.f. Tari Topeng
3. Tari Garapan Baru (Kreasi Baru)
Meskipun namanya 'baru' tetapi semua tari yang termasuk jenis ini tidak meninggalkan unsur-unsur yang ada dari jenis tari klasik maupun tradisional. Sebagai contoh:
a. Tari Prawiroguno
Tari ini menggambarkan seorang prajurit yang sedang
berlatih diri dengan perlengkapan senjata berupa pedang untuk menyerang musuh
dan juga tameng sebagai alat untuk melindungi diri.
b. Tari Tepak-Tepak Putri
b. Tari Tepak-Tepak Putri
Tari yang menggambarkan kelincahan gerak remaja-remaja
putri sedang bersuka ria memainkan rebana, dengan iringan pujian atau syair
yang bernafas Islam.
UPACARA ADAT JAWA
Suku
Jawa dikenal sebagai suku dengan jumlah populasi terbanyak di seluruh
Indonesia. Di manapun tempat di Nusantara, orang Jawa pasti selalu ada. Selain
dikenal memiliki pribadi yang ramah, orang-orang Jawa juga punya sejarah
tradisi dan kebudayaan yang luar biasa, sama seperti suku-suku lainnya. Hal ini
dibuktikan misalnya dengan banyaknya jenis tari, musik, rumah adat, dan upacara
adat yang dimilikinya.
Upacara
adat adalah suatu ritual yang dilakukan secara bersama-sama oleh kelompok
masyarakat yang masih memiliki keterkaitan etnis, suku, maupun kebudayaan untuk
mencapai tujuan yang bersumber pada nilai-nilai leluhur dan nenek moyang
mereka. Di Jawa sendiri, ada beberapa upacara adat yang tergolong cukup unik
dan harus dikenalkan pada genarasi muda agar warisan nenek moyang ini tetap
lestari dan terjaga.
1. BOGANA ASLI TEGAL
Di Jawa, Nasi Bogana biasanya disajikan pada saat
acara-acara tertentu, seperti pesta perkawinan atau peringatan-peringatan
lainnya. Tapi, umumnya makanan ini sering
juga disajikan saat acara kumpul keluarga atau acara-acara arisan. Dalam acara pesta perkawinan, Nasi
Bogana disajikan secara terpisah.
2. KIRAB SERIBU APEM
Kirab apem sewu adalah acara
ritual syukuran masyarakat Kampung Sewu, Solo, Jawa Tengah yang
digelar setiap bulan haji (bulan Zulhijah-kalender penanggalan Islam).
Ritual syukuran itu diadakan untuk mengenalkan Kampung
Sewu sebagai pusat produksi apem kepada seluruh masyarakat sekaligus menghargai
para pembuat apem yang ada di sana. Selain itu, upacara ritual
syukuran ini pun dibuat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan karena
desa dan tempat tinggal mereka terhindar dari bencana. Mengapa begitu? Menurut
Ketua Pelaksana Kirab Apem Sewu, Pak Hadi Sutrisno, letak Kampung Sewu Solo ini
adanya di pinggir Sungai Bengawan Solo, termasuk daerah rawan banjir. Jadi,
masyarakat mensyukurinya. Tradisi apam sewu berawal dari amanah yang disampaikan
Ki Ageng Gribig kepada seluruh warga untuk membuat 1.000 kue apam dan
membagikannya kepada masyarakat sebagai wujud rasa syukur. Sejalan dengan
berkembangnya zaman, maka ritual kirab apem sewu ini diawali dengan kirab
budaya warga Solo yang memakai pakaian adat Solo, seperti kebaya, tokoh
punakawan, dan kostum pasukan keraton. Anak-anak sekolah juga menjadi peserta
kirab dengan menampilkan marching band SD, atraksi Liong (naga), serta aneka
pertunjukan tarian tradisional dan teater. 1.000 kue apem yang sudah disusun
menjadi gunungan itu diarak dari lapangan Kampung Sewu menuju area sekitar
kampung sepanjang dua kilometer. Acara kirab berlangsung selama satu hari, yang
dimulai dengan prosesi penyerahan bahan makanan (uba rampe) pembuat kue apam
dari tokoh masyarakat Solo kepada sesepuh Kampung Sewu di Lapangan Kampung
Sewu, Solo.
3. TEDHAK SITEN
Tedhak
Siten merupakan bagian dari adat dan tradisi masyarakat Jawa
Tengah. Upacara ini dilakukan untuk adik kita yang baru pertama kali
belajar berjalan. Tedhak Siten berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa, yaitu
“tedhak” berarti ‘menapakkan kaki’ dan “siten” (berasal dari kata ‘siti’) yang
berarti ‘bumi’.
Upacara
ini dilakukan ketika seorang bayi berusia tujuh bulan dan mulai belajar duduk
dan berjalan di tanah. Secara keseluruhan, upacara ini dimaksudkan agar ia
menjadi mandiri di masa depan. Dalam pelaksanaannya, upacara ini dihadiri
oleh keluarga inti (ayah, ibu, kakek, dan nenek), serta kerabat keluarga
lainnya. Mereka hadir untuk turut mendoakan agar adik kita terlindung dari
gangguan setan.
Tak
hanya ritualnya saja yang penting, persyaratannya pun penting dan harus
disiapkan oleh orangtua yang menyelenggarakan Tedhak Siten ini, seperti
kurungan ayam, uang, buku, mainan, alat musik, dll.
Selain
itu ada pula ada tangga yang terbuat dari tebu, makanan-makanan (sajen), yang
terdiri dari bubur merah, putih, jadah 7 warna, (makanan yang terbuat dari
beras ketan), bubur boro-boro (bubur yg terbuat dari bekatul-serbuk halus atau
tepung yang diperoleh setelah padi dipisahkan dari bulirnya), dan jajan pasar.
4.
BEDHAYA KETAWANG
Bedhaya Ketawang adalah tarian
sakral yang rutin dibawakan dalam istana sultan Jawa
(Keraton Yogyakarta dan Keraton Solo). Disebut juga tarian langit,
bedhaya ketawang merupakan suatu upacara yang berupa tarian dengan tujuan
pemujaan dan persembahan kepada Sang Pencipta.
Pada awal mulanya di Keraton
Surakarta tarian ini hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Namun
karena tarian ini dianggap tarian khusus yang amat sacral, jumlah penarik
kemudian ditambah menjadi sembilan orang. Sembilan penari terdiri dari delapan
putra-putri yang masih ada hubungan darah dan kekerabatan dari keraton serta
seorang penari gaib yag dipercaya sebagai sosok Nyai Roro Kidul.
Tarian ini diciptakan oleh
Raja Mataram ketiga, Sultan Agung (1613-1646) dengan latar belakang
mitos percintaan raja Mataram pertama (Panembahan Senopati) dengan Kanjeng Ratu
Kidul (penguasa laut selatan). Sebagai tarian sakral, terdapat beberapa aturan
dan upacara ritus yang harus dijalankan oleh keraton juga para penari.
5.
UPACARA KENDUREN
Upacara
ini dilakukan secara turun temurun sebagai peringatan doa bersama yang dipimpin
tetua adat atau tokoh agama. Adanya akulturasi budaya Islam dan Jawa di abad ke
16 Masehi membuat upacara ini mengalami perubahan besar, selain doa hindu/budha
yang awalnya digunakan diganti ke dalam doa Islam, sesaji dan persembahan juga
menjadi tidak lagi dipergunakan dalam upacara ini.
Upacara
Adat Jawa Berdasarkan tujuannya, upacara adat Jawa yang satu ini terbagi
menjadi beberapa jenis yang diantaranya: Kenduren wetonan (wedalan) adalah
upacara kenduren yang digelar pada hari lahir seseorang (weton) dilakukan
sebagai sarana untuk memanjatkan doa panjang umur secara bersama-sama. Kenduren
sabanan (munggahan) adalah upacara yang dilakukan untuk menaikan leluhur orang
Jawa sebelum memasuki bulan puasa. Upacara kenduren ini umumnya dilakukan di
akhir bulan Sya,ban, sebelum ritual nyekar atau tabur bunga di makam leluhur
mereka lakukan. Kenduren likuran adalah upacara kenduren yang digelar pada
tanggal 21 bulan puasa dan dilakukan untuk memperingati turunnya Al-Qur’an atau
Nujulul Quran. Kenduren ba’dan adalah kenduren yang digelar pada 1 Syawal atau
saat hari Raya Idul Fitri yang tujuannya untuk menurunkan arwah leluhur ke
tempat peristirahatannya.
6.
UPACARA GREBEG
Upacara
ini digelar 3 kali setahun, yaitu tanggal 12 Mulud (bulan ketiga), 1 Sawal
(bulan kesepuluh) dan 10 Besar (bulan kedua belas). Upacara ini digelar sebagai
bentuk rasa syukur kerajaan terhadap karunia dan berkah Tuhan.
7.
UPACARA SEKATEN
Sekaten
merupakan upacara adat Jawa yang digelar dalam kurun tujuh hari sebagai bentuk
peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad. Berdasarkan asal usulnya, kata Sekaten
yang menjadi nama upacara tersebut berasal dari istilah Syahadatain, yang dalam
Islam dikenal sebagai kalimat tauhid. Upacara sekaten dilakukan dengan
mengeluarkan kedua perangkat gamelan sekati dari keraton, yaitu gamelan Kyai
Gunturmadu dan gamelan Kyai Guntursari untuk diletakan di depan Masjid Agung
Surakarta.
8.
UPACARA RUWATAN
Upacara
ruwatan adalah upacara adat Jawa yang dilakukan dengan tujuan untuk meruwat
atau menyucikan seseorang dari segala kesialan, nasib buruk, dan memberikan
keselamatan dalam menjalani hidup. Contoh upacara ruwatan misalnya yang
dilakukan di dataran Tinggi Dieng. Anak-anak berambut gimbal yang dianggap
sebagai keturunan buto atau raksasa harus dapat segera diruwat agar terbebas
dari segala marabahaya.
9.
UPACARA PERKAWINAN TRADISONAL JAWA
Dalam
pernikahan adat Jawa dikenal juga sebuah upacara perkawinan yang sangat unik
dan sakral. Banyak tahapan yang harus dilalui dalam upacara adat Jawa yang satu
ini, mulai dari siraman, siraman, upacara ngerik, midodareni, srah-srahan atau
peningsetan, nyantri, upacara panggih atau temu penganten, balangan suruh,
ritual wiji dadi, ritual kacar kucur atau tampa kaya, ritual dhahar klimah atau
dhahar kembul, upacara sungkeman dan lain sebagainya.
10. UPACARA TINGKEPAN
Upacara
tingkepan (mitoni) adalah upacara adat Jawa yang dilakukan saat seorang wanita
tengah hamil 7 bulan. Pada upacara ini, wanita tersebut akan dimandikan air
kembang setaman diiringi panjatan doa dari sesepuh, agar kehamilannya selamat
hingga proses persalinannya nanti.
Sumber:
Sumber:
Berita.suaramerdeka.com